Makna 3 Tarian Kolosal di Indonesia

Makna 3 Tarian Kolosal di Indonesia

Gourmetamigurumi.comTarian Kolosal maupun seni tari pada umumnya sudah masuk ke dalam salah satu seni serta budaya Indonesia yang wajib dilestarikan. Terlebih lagi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki budaya yang berbeda-beda. Tentu saja, keberagaman ini sudah semestinya kita pertahankan bersama-sama. 

Secara singkat, tari adalah sebuah bentuk seni pertunjukan yang terdiri langsung atas urutan gerakan yang mana di pilih secara sengaja. Gerakan ini memiliki nilai estesis dan juga simbolis, serta sudah di akui sebagai tarian oleh penampil sekaligus pengamat dalam budaya tertentu. 

Jenis Tarian Kolosal dan Tari Lainnya

Berikut ini ada penjelasan terkait dengan tarian kolosal dan beberapa jenis tari lainnya. Yang mana, semuanya bisa kamu kenali mulai dari : 

1. Tarian Kolosal → memiliki arti daripada tari yang dimainkannya secara massal atau lebih banyak kelompok. Nah, biasanya di lakukan oleh setiap suku bangsa yang berada di seluruh daerah Nusantara.

2. Tarian Solo → memiliki arti sebuah tarian yang diperagakan oleh satu penari saja ( bisa laki, bisa perempuan ). Salah satu contoh dari jenis ini ialah tari Golek yang berasal dari Jawa Tengah.

3. Tarian Berpasangan → jenis ini secara tidak langsung akan di peragakan oleh 2 orang secara berpasangan. Contohnya adalah tari Topeng dari daerah Jawa Barat.

4. Tarian Kelompok → umumnya tarian ini akan di peragakan lebih dari 2 orang atau berkelompok.

Mengenal Tarian Kolosal Bernama Ponare

Tari Ponare merupakan salah satu kesenian yang menggambarkan adanya aktivitas dalam mempertahankan suatu daerah dari gempuran musuh. Tentu saja di dukung oleh penggunaan alat perang seperti tombak dan perisai kayu berbentuk limas. Biasanya, tarian ini sudah di selingi oleh atraksi pencak silat di antara dua orang.

Inti gerakan dari tarian ini mengusung tema perang. Nilai moral di dalamnya menceritakan gambaran atas masyarakat Buton yang selalu siap sedia membela negara, serta menghargai para pahlawannya. Tarian Ponare juga mengandung makna bahwasannya, para pemuda Buton adalah para pemuda yang sangat gagah berani, tangguh, penuh tanggung jawab, pekerja keras, dan berani membela kebenaran.

Tarian Bernama Badenda

Masih dengan masyarakat Buton, yang mana masuk ke dalam jenis tari kegembiraan. Badenda sendiri memiliki makna tas perlambangan dari rasa syukur kepada Tuhan atas melimpahnya rezeki dari sang pencipta. Tarian tersebut sudah di bawa oleh para pelaut Buton yang berasal dari Binongko dan mulai di harmonisasikan dengan alam maupun kehidupan masyarakat sekitar. 

Tariannya sudah menjadi sarana berkumpul keluarga dan menciptakan rasa kebersamaan yang akrab dalam hidup bermasyarakat. Biasnaya, tarian ini bisa kamu lihat pada momen : idul fitri, idul adha, acara pernikahan, wisuda, sampai kumpul-kumpul keluarga besar. Dan mengenai lagu pengiringnya, biasa adalah lagu-lagu lincah nan penuh semangat.

Tari Kolosal Bernama Alionda

Ini menjadi tari terakhir yang bisa kamu ketahui. Sekitar tahun 1691,  Kulisusu adalah daerah pemukiman yang kedudukannya hidup secara terpisah-pisah tanpa seorang raja dan hanya ada kepala suku saja. Kondisi semacam ini memungkinkan pertahanan dan keamanan masyarakat Kulisusu pada masa itu boleh dikata tidak ada, sebab sifat gotong royong dari masyarakatnya pun tidak tampak bahkan karena lebih senang tinggal sendiri dan mengelola tanamanya.

Keadaan demikian merupakan pola hidup tradisional masyarakat pedesaan dimana saja khususnya Kulisusu. Kedatangan bangsa Belanda di Maluku tersebar di pelosok-pelosok Maluku yang mana sampailah di Tobelo yang merupakan awal terjadinya kekacauan di Kulisusu dan terbentuknya seni Tari Alionda.

Dengan terbentuknya organisasi sosial, masyarakat Kulisusu membawa mereka untuk saling membawa hubungan komunikasi yang menciptakan suasana harmonis. Namun, pada masa itu kesenian Alionda ini belum bernama Alionda. Dengan begitu permainan ini belum punya nama khusus tapi masih merupakan permainan atau perkara raha.

Seringkali sehabis panen mereka selalu berkumpul dan berpegangan tangan, lalu di ayun-ayunkan sambil bernyanyi atau mekabanse. Lama kelamaan hal ini menjadi suatu kebiasaan. Alionda awalnya menghilangkan rasa capek, lelah dan lapar, mereka kemudian mulai menghibur diri dengan bernyanyi dengan lagu menceritakan tentang keadaan mereka yang sangat menyedihkan sambil terus berpegang tangan untuk membantu satu sama lain mereka terus bernyanyi, sepanjang jalan.

Di dalam lagu mereka tersebut mulai di sebut-sebut nama Alionda. Kata alionda merupakan bahasa Kulisusu yang di gunakan oleh nenek moyang masyarakat kulisusu pada masa lampau yang mengartikan kebersamaan dan kegotongroyongan.

Dalam masa pemerintahan Raja La Ode-ode mulailah berdatangan para mubaliqh Islam. Yang dua tokoh ini langsung datang dari arab yakni Syek Saldi Rabba atau Syarif Muhammad Al Idris yang mendasarkan ajarannya dengan syariat Islam sebagai landasan pertama dan jalur ilmu tersebut terikat sebagai jalur kedua.

Saluran islamisasi yang di gunakan pada saat mengembangkan Islam adalah rabba (biola) sebagai jalur kesenian kemudian masyarakat Kulisusu menemukan gendang–gendang, gong dan lain-lain. Kemudian alat-alat ini di gunakan pada acara-acara Alionda. Kesenian ini sudah mulai mendapat perkembangan yang tadinya permainan Alionda tanpa di iring alat kesenian. Setelah di temukannya gendang, gong dan yang lainnya mulai di iring alat-alat tersebut.